News  

OPINI: Distorsi dan Miskonsepsi Pendidikan Formal di Indonesia

Oleh: Yahya Syamsul, Pengurus HMI Cabang Pinrang


KABARBUGIS.ID – Pendidikan sangat berpengaruh terhadap mutu sumber daya manusia suatu bangsa. Pendidikan juga disebutkan sebagai human investment yang menjadi salah satu indikator penentu kualitas sumber daya manusia. Meningkatkan mutu sumber daya manusia ini harus dilakukan secara terarah, terstruktur, intensif, efektif serta efisien dalam proses perjalanannya.

Pendidikan Indonesia sendiri telah melalui proses pembangunan yang cukup panjang. Sebagian besar tokoh pejuang kemerdekaan, pemrakarsa sampai cendekiawan Indonesia berasal dari latar belakang pendidikan berbeda dan pola pembelajaran yang berbeda. Segala bentuk sistem pendidikan formal yang mereka lalui pada masanya, hanya memberi gelar administrasi dan kemerdekaan belajar yang didikte.  sejarah mencatat bahwa mereka menemukan dan menekuni kemerdekaan belajar hanya melalui pendidikan alternatif dan progresif atau biasa kita istilahkan dengan pendidikan rakyat.

Pendidikan formal dari masa ke masa hingga saat ini, hanya meninggalkan catatan kelam. Pendidikan ala kolonial (Fase Penjajahan) Pendidikan ala Otoritarian (Fase Kekuasaan Absolut) , Pendidikan ala kapitalis (Fase Demokrasi Liberal). Ketiga fase tersebut semuanya diselimuti dominasi ajaran sekularisme, kendati dalam perjalanannya berdiri sekolah-sekolah yang berbasis keagamaan, tetapi terkonsentrasi hanya pada identitas tertentu. Berdirinya sekolah berbasis keagamaan kerap kali masih mendapatkan cela intervensi penguasa untuk menyesuaikan kurikulum ajarannya. Kini ketiga orientasi pendidikan tersebut seolah menjadi hantu yang membayangi nasib pendidikan bangsa kedepan.

Gambaran model pendidikan kolonial dengan terstruktur mendikotomi pribumi antara masyarakat bisa dengan para bangsawan, model pendidikan otoritarian yang memaksa satuan pendidikan menyesuaikan konsep pendidikan demi kepentingan penguasa, sedangkan model pendidikan hingga saat ini cenderung memaksakan peserta didik ke arah pragmatis dan materialistik.

Hantaman globalisasi yang memaksa bangsa Indonesia untuk bertahan dari terpaan perang ideologi dan kebudayaan tampaknya telah lama menyasar sistem pendidikan Indonesia. Kira-kira indeks rata-rata IQ Indonesia berdasarkan data World Population Review per 2022 menjadi satu dari sekian banyak variabel yang kontradiksi dengan penggelontoran anggaran negara yang begitu banyak pada sektor pendidikan serta kurikulum yang diterapkan pada sistem pendidikan Indonesia.

Revisi kurikulum pendidikan formal Indonesia yang dimulai sejak tahun 1947 hingga saat ini nampaknya masih saja menemui jalan buntu untuk mendongkrak kualitas pendidikan Indonesia.

Menyadari perihal tersebut, negara melalui pemerintah rupanya telah mengakui kelemahan dan kendala sistem pendidikan Indonesia yang mengalami sumbatan pada sirkulasi iklim pendidikan kita di tengah ketidakpastian dunia.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim mengakui bahwa kekurangan itu diantaranya kurikulum 2013 kaku dan tidak fleksibel, tingginya tingkat kesenjangan digital, akses guru berkualitas yang tidak merata hingga penganggaran yang belum memprioritaskan daerah Terdepan, Tertinggal, dan Terluar (3T) Indonesia.

Dengan dalih kesenjangan digital, K13 serta ketidaktepatan penganggaran. Pemerintah mengusung kembali revisi total kurikulum pendidikan dengan solusi kurikulum merdeka yang dianggap ampuh mengatasi ketertinggalan pendidikan Indonesia.

Semenjak kurikulum merdeka dimunculkan, kendala teknis, kompetensi dan efektivitas terus bermunculan sepanjang penerapannya. Berbagai kritikan yang datang dari akademisi, mahasiswa, bahkan koalisi politik pemerintah yang berada di garda terdepan penentu kebijakan sampai hari ini juga terus berdatangan.

Dalam penerapannya, konsep tersebut dinilai masih kurang fleksibel bagi tenaga pengajar,  ketidak seimbangan akses pembelajaran dan pengajaran, restrukturisasi tenaga pendidik yang tidak pasti, serta beban instrumen ajaran yang tidak terkondisikan dengan biaya dan waktu . Kompleksnya kendala-kendala yang bermunculan terhadap pola tersebut berimplikasi pada ketidakpastian tujuan substantif pendidikan Indonesia.

Pembiaran ketidakpastian ini akan berdampak kepada generasi muda bangsa yang tidak lagi di isi oleh manusia- manusia merdeka, tetapi bonus demografi bangsa akan di isi manusia – manusia dengan kecenderungan pola pikirnya ke arah  pragmatis dan materialistik, manusia administrator, manusia mesin, manusia feodal, manusia  sofis. Hal inilah yang  menimbulkan efek domino yang bermuara ke demoralisasi karakter generasi bangsa.

Dari sekian banyak tenaga pendidik Indonesia, dari pelosok desa hingga pusat kota, hanya sedikit dari mereka yang jiwanya terpanggil menolak terkooptasi dengan sistem yang menurut mereka, kontradiktif dengan tujuan substantif pendidikan. Entah alasan dapur yang terancam ataukah karir yang tenggelam.

Kurikulum merdeka yang katanya berangkat dari konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara, sepertinya mesti dievaluasi kembali relevansinya. Pendidikan berbasis kebudayaan itu mengajarkan budaya apa,siapa dan bagaimana,  Merdeka dari apa dan siapa?.

Ketika Ki Hadjar Dewantara mendidik anak menginjak pada pendidikan taman muda (Sekolah Dasar), kemudian taman dewasa dan seterusnya maka konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara mengedepankan istilah Ngerti, Ngroso dan Nglakoni. Pola ini dimaksudkan supaya anak tidak hanya dididik intelektualnya saja (kognitif), istilah Ki Hadjar Dewantara ‘ngerti’, melainkan harus ada keseimbangan dengan ngroso (afektif) serta nglakoni (psikomotorik), akal budi yang seirama dengan budi pekerti.

Kurikulum merdeka ditengah perjalanan nya, justru memproduksi mesin-mesin bernyawa , mempolarisasi kognitif yang mengantarkan budaya individualistik. Kita tidak melihat kemerdekaan yang ditawarkan melalui Grand Idea tersebut. Ajaran kemerdekaan budi pekerti dan akal budi nampaknya tidak kita temukan dalam bab demi bab penerapannya.

Kemerdekaan budi pekerti dan akal budi yang seharusnya kita temukan dalam perjalanan kurikulum merdeka, sepertinya terjadi distorsi implementasi dan miskonsepsi. Untuk mewujudkan pemimpin bangsa yang berkarakter Ing Ngarsa Sung Tulodho, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani, harus dikolaborasikan dengan seluruh elemen masyarakat yang secara konsisten tidak mencampur adukkan kepentingan politik dan profit didalamnya. Para pemimpin yang diidealkan Ki Hadjar Dewantara tersebut di masa depan akan menghasilkan pemimpin yang tangguh karena merupakan pemimpin yang disiplin terhadap dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan masyarakatnya.

Namun demikian, konsep pendidikan formal kita hari ini belum mampu menyoal maksud filosofis pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang mendidik manusia-manusia supaya terlepas dari belenggu-belenggu rekayasa sosial dan intimidasi penguasa.

Hantaman globalisasi yang dipengaruhi oleh kepentingan pasar telah mengakibatkan pendidikan tidak sepenuhnya dipandang sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan proses pemerdekaan manusia, tetapi mulai bergeser menuju pendidikan sebagai komoditas.

Usaha digitalisasi yang begitu masif diproyeksikan justru mempersuram iklim pendidikan Indonesia. Bagaimana tidak, tarif pajak yang meningkat pesat membuat industri – industri telekomunikasi menaikkan harga pasarnya dengan dominasi pemikiran profit yang unlimited. Mereka tidak sadar efek kesenjangan sosial yang ditimbulkan akan berpengaruh besar pada sektor pendidikan. Dampak yang ditimbulkan memaksa lapisan menengah sampai paling bawah masyarakat untuk berpikir praktis dan berperilaku instan. Bahkan pada bagian tertentu, kesempatan mengakses pendidikan justru menjadi momok bagi kalangan masyarakat akibat efek domino yang ditimbulkan. Entah siklus ini terjadi didasarkan oleh pemufakatan terselubung ataukah didasarkan kepentingan sosial masyarakat . Ini adalah bagian anda membacanya.

Kita sepakat bahwa aspek digital pada ranah pendidikan menjadi peluang dan faktor pendukung berkembangnya pendidikan Indonesia. Tetapi bagaimana ketika disaat yang sama, kesempatan ini dihambat oleh skandal perselingkuhan politik penguasa dengan dunia pendidikan. Tindakan asusila terhadap lembaga pendidikan yang sungguh miris.

Akhir-akhir ini, ditengah mewujudkan kesejahteraan digital untuk masyarakat, hati pejuang pendidikan tersayat oleh informasi Kejaksaan Agung yang saat ini telah menyita Rp 10 miliar total aset dan properti dalam kasus dugaan korupsi tower Base Transceiver Station (BTS) 4G dan infrastruktur pendukung paket 1, 2, 3, 4, dan 5 BAKTI Kominfo 2020-2022.

Bagaimana tidak menyedihkan, disaat  anak-anak dari pelosok negeri dengan sukarela melibatkan diri dalam misi digitalisasi pendidikan. Mereka justru dipaksakan oleh sistem menguras harta bendanya untuk melakukan transaksi penggunaan internet yang begitu sulit terjangkau. Merelakan hari-hari pendidikan mereka dengan infrastruktur jalan dan sekolah yang mereka anggap sudah sangat layak adalah contoh dedikasi etis mereka. Semua dilakukan demi mampu mengikuti konsep digitalisasi pendidikan pemerintah. Ini adalah tamparan melebihi kekerasan.

Sekiranya melalui kolaborasi gotong royong seluruh elemen masyarakat untuk membuka titik – titik Pendidikan Alternatif setidaknya menjadi langkah konkret kita semua untuk menyelamatkan insan-insan muda  agar terbina menuju generasi manusia merdeka. Sebagaimana tokoh dan para cendekiawan kita dahulu, dimana pemikiran dan karya-karyanya mereka lebih banyak terpengaruh oleh lingkungan pendidikan alternatif.

Komunitas belajar, pemuda dan mahasiswa yang membuka pendidikan alternatif hari ini sudah saatnya dan seharusnya datang dengan prinsip dan tujuan yang sama, bukan datang dengan identitas dan ideologi masing-masing yang justru mewarnai iklim pendidikan dengan membentuk sekte-sekte yang memecah hubungan sosial masyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *