KABARBUGIS.ID – Masjid Tua Tosora berusia ratusan menjadi saksi bisu perkembangan Islam di Bumi Lamaddukelleng sebutan Kabupaten Wajo.
Masjid Tua Tosora terletak di Desa Tosora, Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo. Berjarak 19 kilometer dari Sengkang, ibu kota Kabupaten Wajo. Dalam sejarah, Desa Tosora merupakan pusat pemerintahan Kerajaan Wajo.
Sebuah benteng pertahanan seluas kira-kira seratus hektare berdiri gagah di daerah tersebut. Menurut laporan Proyek Pemugaran dan Pemeliharaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Sulawesi Selatan tahun 1984, Benteng Tosora mulai dibangun oleh Arung Matoa (sebutan Raja Wajo) ke-16 yakni La Tenrilai To Uddamang (1636-1639).
Proyek Benteng Tosora kemudian dilanjutkan dan rampung di masa pemerintahan Arung Matoa XVII La Sigajang To Bunne (1639-1643). Benteng ini kelak menjadi saksi bisu gigihnya prajurit Wajo menahan gempuran bala tentara koalisi Bone-VOC pada tahun 1670.
1. Masjid Tua Tosora dibangun pada masa pemerintahan Arung Matoa XV La Pakallongi To Allinrungi (1621-1626)
Namun sebelum benteng, di area tersebut sudah lebih dulu berdiri sebuah masjid. Rumah ibadah muslim itu dibangun atas perintah Arung Matoa XV La Pakallongi To Allinrungi (1621-1626) di tahun 1621. Butuh waktu lama setelah La Sangkuru Patau' Mulajaji (Arung Matoa XII, 1607-1610) jadi penguasa Wajo pertama yang memeluk Islam.
Menurut Abdurrazak Daeng Patunru dalam buku "Sejarah Wajo" (Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1983), hadir beberapa penguasa negeri tetangga. Seperti Raja Gowa Sultan Alauddin, Raja Bone La Tenripale dan Datu' Soppeng We Adang.
Kehadiran mereka tak lepas dari hasil upaya pengislaman yang dilakukan Gowa-Tallo sejak 1608. Sementara itu, Raja Bone dan Datu' Soppeng datang dalam kapasitas sebagai sesama pemimpin Persekutuan Tellumpoccoe, aliansi tiga kerajaan Bugis yang dikukuhkan pada tahun 1582.
2. Bagian mihrab jadi salah satu bagian Masjid Tua Tosora yang masih utuh
Sayangnya, baik benteng megah dan masjid pertama di Wajo tersebut kini menjadi puing-puing akibat proses alam dan tangan manusia. Tapi sisa-sisa kejayaannya masih bisa disaksikan dan dikunjungi. Belakangan, area Masjid Tua Tosora mulai digunakan warga setempat untuk melaksanakan salat Jumat.
Situs bersejarah Masjid Tosora berada tepat di belakang Kantor Desa Tosora. Yang masih utuh cuma mihrab (ceruk ruang untuk imam) di sisi barat. Sedangkan empat sisi dinding batunya, berupa tumpukan batu dengan perekat putih telur, kini menyisakan pondasi saja.
Saat berdiri, Masjid Tosora memiliki panjang 18,20 meter. Lebarnya mencapai 15,90 meter, dengan tembok setinggi 3,70 meter dengan empat pintu masuk. Pada bagian dalam, terdapat empat batu umpak yang menjadi alas tiang penyangga atap (soko guru). Sementara di bagian tenggara masjid masih terdapat sisa-sisa tempat wudhu.
3. Di samping area mihrab Masjid Tua Tosora terdapat makam ulama Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini
Di sekitar reruntuhan masjid terdapat sejumlah makam figur penting Kerajaan Wajo. Salah satunya yakni Renreng Bettempola La Gau Matinroe ri Masigina, Datu' Pammana (negeri bawahan Wajo) yang berkuasa pada tahun 1740-an.
Ada juga pusara Arung Matoa XXIII La Tenrilai To Sengngeng (1658-1670) yang gugur dalam perang melawan koalisi Bone-VOC. Sedang di sisi utara luar area benteng terdapat kompleks makam Arung Matoa XI La Mungkace? To Uddamang (1567-1607), salah satu penandatangan Perjanjian Timurung yang tak lain awal berdirinya Persekutuan Tellumpoccoe.
Tak cuma bangsawan Wajo, salah satu tokoh termasyhur yang dimakamkan di kompleks Masjid Tosora adalah Syekh Jamaluddin Al-Akbar Al-Husaini. Ulama asal Malabar, pesisir selatan India, tersebut adalah keturunan ke-20 dalam silsilah Nabi Muhammad SAW.
Ia juga merupakan kakek kandung dari empat ulama penyebar Islam di Jawa yang lebih dikenal sebagai wali songo, yaitu Sayyid Maulana Malik Ibrahim, Sayyid Ainul Yaqin atau Sunan Giri, Sayyid Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel, dan Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati.
Usai berdakwah di Kelantan (Malaysia), Samudra Pasai (Aceh) dan Jawa, Syekh Jamaluddin melanjutkan misinya ke Sulawesi, tepatnya Kerajaan Wajo. Ia menetap di Tosora hingga meninggal pada tahun 1453. Makamnya sempat dikunjungi mendiang Presiden Abdurrahman Wahid sebanyak dua kali pada dekade 1980-an.
Menurut juru kunci Masjid Tua Tosora, Alam, bangunan Masjid Tosora awalnya utuh, bahkan dengan atapnya, namun sebagian diruntuhkan oleh penjajah, sehingga tersisa seperti ini.
"Dinding masjid yang terbuat dari batu alam menggunakan putih telur sebagai perekatnya," kata Alam, Sabtu (25/3).
Kompleks Masjid Tua Tosora telah dilindungi oleh pemerintah Kabupaten Wajo dengan cara mendirikan atap di kawasan reruntuhan Masjid Tua Tosora.
Hal tersebut untuk mempertahankan bangunan sebagai salah satu cagar budaya. Meskipun begitu, Masjid Tua Tosora tetap menarik pengunjung baik dari lokal maupun mancanegara.
Alam menyatakan bahwa semenjak dia menjadi juru kunci, banyak sekali pengunjung yang datang dari Jawa, Sumatera, bahkan Malaysia dan Singapura.
"Pengunjung banyak yang datang kesini (Masjid Tua Tosora) ada dari Jawa, Sumatera, Malaysia dan Singapura," ujarnya.